Sepatu Surya (cerita pendek)

Muhyi Supendi
4 min readSep 30, 2020

--

Surya, seorang anak laki-laki kelas empat SD yang selalu berjalan kaki ke sekolah. Maklum, dia hidup ditengah keluarga yang kurang mampu sehingga orang tuanya tidak bisa membeli kendaraan untuk mengantarnya ke sekolah atau untuk keperluan lainnya. Bahkan sepatu saja, Surya hanya memiliki satu sepatu olahraga berwarna hitam, itu pun sudah kumuh karena selalu digunakannya ke sekolah sejak kelas dua. Biasanya Surya berangkat ke sekolah bersama tetangganya yang sudah kelas lima di sekolah yang sama, Riko namanya. Hari ini Riko tidak masuk sekolah karena sedang sakit, itu yang dikatakan Ibu Riko ketika surya datang ke rumah Riko.

Saat itu hari selasa, Pak Agus guru olahraga mengingatkan kepada seluruh kelas empat bahwa besok akan ada praktek lari 100 m dan semuanya harus memakai sepatu olahraga. Saat teman-temannya saling berbisik membahas sepatu mana yang akan dipakai, Surya hanya bisa menunduk dan melihat sepatu kumuhnya dengan wajah agak murung “tidak papa sepatuku ini-ini aja, yang penting masih bisa dipakai” ucapnya dalam hati sambil menarik senyum di bibirnya sebagai ekspresi ketegarannya.

Jam pelajaran hari ini telah usai, sekarang waktunya seluruh murid pulang. Naas, baru beberapa langkah Surya berjalan dari kursinya, hujan pun turun dengan sangat deras. Surya tidak membawa payung karena tadi pagi cuaca sangat cerah, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. “Aduuuh hujannya deras banget, gimana pulang nih?” ucap Surya dengan wajah bingung.

Se-jam berlalu, hujan masih turun disertai angin kencang. Surya mulai merasa kalau perutnya protes ditandai dengan suara-suara penuh misteri kruuk…kruuuukk…kruukk. Wajar saja jika lapar, terakhir kali dia makan sebelum berangkat ke sekolah dan pada saat jam istirahat dia hanya memakan satu bakwan, itu pun pemberian temannya karena uang jajan Surya hanya cukup untuk membeli satu kantong es.

“Biarin deh basah kuyup, yang penting bisa cepet-cepet pulang. Udah laper banget nih” pikir Surya sambil memasukkan buku dan sepatu ke dalam plastik terpisah. Dia menyimpan buku yang terbungkus plastik ke dalam tas, sementara plastik lain berisi sepatu yang akan dia jinjing. “Terima kasih, Bu” ucap Surya kepada Ibu kantin karena sudah memberinya dua kantong plastik, Ibu kantin menjawab “Sama-sama, hati-hati ya…”.

Surya berlari cukup kencang walaupun pandangannya tidak cukup jelas karena terhalang air hujan.

Ketika sampai di sebuah jembatan, Surya tidak melihat lumut hijau licin tepat di tempat kakinya berpijak. Surya pun terpeleset dan sepatu yang dibawanya terlempar ke sungai yang deras bahkan topi yang dipakainya ikut raib, “aaaaawwww…” teriaknya refleks. Sadar sepatu dan topinya terbawa arus, Surya melanjutkan perjalanan dengan wajah sedih. Dia teringat pribahasa dalam pelajaran Bahaas Indonesia yang tadi dipelarinya, “sudah jatuh tertimpa tangga”, sekarang dia benar-benar paham makna pribahasa itu.

Sampai dirumah, Surya langsung mandi kemudian makan. Walaupun hati sedih tetapi selera makannya sama sekali tidak berkurang, dia makan dengan lahap walaupun dengan lauk seadanya sisa tadi pagi. Dengan perut yang sudah terisi, Surya menuju kamar karena dia merasa ngantuk dan lelah lalu tertidur.

Ibunya biasa pulang malam karena harus bekerja lembur sebagai penjahit di konveksi kampung sebelah. Sementara Ayahnya sudah meninggal saat Surya berusia dua tahun.

Surya bangun karena mendengar ayam berkokok “hah kok sudah pagi” kaget karena dia merasa tidurnya nyenyak sekali sampai-sampai tidak mendengar suara ketika Ibunya pulang. Dia pun menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur.

“Bu, kok ibu gak bangunin aku?”

“Ibu gak tega bangunin kamu, kamu nyenyak banget tidurnya” jawab Ibu

“Bu, kalo hari ini Surya gak masuk sekolah boleh gak?” Tanya surya dengan raut wajah agak murung.

“Loh kenapa gitu?”

“Hari ini ada praktek olahraga dan harus pake sepatu olahraga tapi sepatuku hanyut ke sungai, Bu” Surya menjelaskan dengan perasaan takut Ibunya akan marah.

“Ooh gitu.. tunggu sebentar ya!” ungkap Ibu sambil melangkah menuju kamar.

Tak sampai satu menit, Ibu kembali dan membawa sebuah bingkisan.

“Ini buat kamu, coba dibuka!” suruh Ibu sambil memberikan bingkisan kepada Surya.

Surya membukanya dan betapa terkejutnya dia ketika melihat isi bingkisan itu adalah sepatu olahraga baru.

“Ini buat aku, Bu?” Tanya Surya dengan wajah sumringah.

“Iya itu untuk kamu, suka gak?”

“Suka banget, Bu. Tapi kok bisa pas gini? Sepatu aku hilang, eh ibu beliin yang baru”.

Ibu menjelaskan kepada Surya ketika dalam perjalanan pulang, Ibu bertemu Pak Amir pemilik toko perlengkapan sekolah di dekat jembatan dan memberi tahu Ibu kalau Surya terjatuh, lalu sepatu beserta topinya terbawa arus. Awalnya Ibu bingung karena ingin membelikan Surya sepatu baru tetapi uang Ibu tidak cukup.

“Untung Pak Amir baik, jadi Ibu dikasih keringanan untuk mencicilnya” jelas Ibu.

“Ooh gitu ceritanya, makasih ya, Bu” ungkap Surya yang sangat senang.

“Iya sama-sama”.

Surya pun bersiap-siap untuk bergegas ke sekolah dengan perasaan sangat bahagai, terlihat dari ekspresinya yang tersenyum riang sepanjang perjalanan.

SELESAI

Sedikit Tentang Penulis Amatir

Sejak SMP gue selalu bingung kalo disuruh bikin karangan sama guru Bahasa Indonesia sekalipun itu dari pengalaman. Gue adalah orang yang punya banyak keinginan tapi sedikit usaha dan tindakan, makanya gue masih belum jadi apa-apa.

Dulu gue pernah punya keinginan bisa menciptakan suatu karya tulisan, entah itu cerpen (cerita pendek), puisi, atau lainnya yang bisa sampai ke hati dan mewakili perasaan setiap pembaca. Tapi karena gue males dan itu hanya sebatas angan-angan, ya… hasilnya ngga ada.

Ini adalah karya pertama gue yang dibuat disela-sela kekosongan waktu dan hasil dari melawan rasa malas gue.

Masih jauh dari kata sempurna, mungkin masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya, dari penulisan, penggunaan huruf, tanda baca, isi cerita, dan lain-lain

Gue perlu banyak masukan untuk melengkapi kekurangan dan memperbaiki kesalahan.

Bertahun-tahun keinginan ini hanya bisa terpendam dalam tumpukan alasan kemalasan, akhirnya gue bisa menciptakan sesuatu walaupun masih sangat minim ilmu dan banyak kurangnya.

Gue pikir akan menjadi hal lucu kalau di masa depan gue bisa tengok dan baca karya yang gue bikin di masa sekarang, ide-ide gue, perasaan gue, pesan-pesan yang ingin gue sampaikan, dan lainnya.

Gue juga teringat satu quote

“Satu rencana kecil yang dikerjakan akan lebih baik daripada seribu rencana besar tanpa tindakan.”

Semoga bermanfaat,

terima kasih.

--

--

Muhyi Supendi
Muhyi Supendi

Written by Muhyi Supendi

0 Followers

Penulis amatir yang malas

No responses yet